Suatu style arsitektur merepresentasikan dua hal sekaligus. Pertama, arsitektur dalam pengertian formalistic (wujud), bentukan masa, teknik membangun, fungsi-fungsi serta kesan secara keseluruhan terhadap karya tersebut. Kedua, pengertian pra-anggapan, interpretasi dan wacana yang menjadi latar belakang hadirnya arsitektur tersebut, sehingga bobot pemikiran, curahan emosi dan proses desain muncul pada aspek ini. Aspek keduanya ini lebih sulit dikenali karena sangat abstrak.

Secara sederhana, gaya arsitektur dapat dibagi menjadi tiga bagian; gaya arsitektur kultural, gaya arsitektur personal dan gaya arsitektur universal. Pembagian ini tidak bisa dipandang secara rigid. Sebab, dalam gaya arsitektur cultural akan ditemui pendekatan personal arsitek di didalamnya. Di zaman sekarang, tak mudah bahkan tak mungkin untuk menerapkan kemurnian suatu gaya arsitektur tertentu.

Gaya arsitektur kultural

Gaya ini kerap disebut gaya arsitektur tradisional yang belakangan menjadi gaya arsitektur vernacular. Gaya ini sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup, tatanan, wawasan, dan tata laku yang berlaku sehari-hari secara umum. Bali, terutama daerah pedesaaan dengan basis pertanian, merepresentasikan jenis ini. Sementara itu, di kota-kota besar di Bali yang berbasis pariwisata, banyak ditemui arsitektur gaya vernacular, seperti pada bangunan dengan tipologi baru yang tidak banyak dikenal secara umum pada tataran tradisional, yaitu pada rancangan hotel, toko dan sebagainya.

Arsitektur vernacular merupakan bentuk transformasi dari situasi kultur homogen ke kultur yang heterogen dengan tetap berusaha untuk menampilkan citra dan baying-bayang realitas arsitektur tradisional. Arsitektur vernacular memiliki apresiasi yang besar terhadap high tradition. Citra yang disajikan lebih banyak bersandar pada referensi arsitektur “rakyat” daripada terhadap bangunan keagamaan, bangunan milik bangsawan-penguasa dan sejenisnya.

Gaya arsitektur personal

Di Indonesia, tidak sedikit arsitek atauk kelompok arsitek yang memiliki design baik yang orisinal ataupun sebagai bentuk pengembangan pemikiran dari pribadi atau kultur lain diluar Indonesia. Sayangnya, rekaman kita terhadap para arsitek kita kurang baik. Padahal, banyak sekali arsitek Indonesia yang sangat baik dan orisinal. Diantaranya adalah almarhum Friederich Silaban melalui karya yang memperhatikan pada kondisi klimatologis negeri tropis, sangat teknis dan kokoh. Beberapa gedung seperti Pusat Bank Indonesia Jakarta, kompleks Mesjid Istiqlal, Gedung di Taman Makam Pahlawan Kalibata adalah salatu satu peninggalan karyanya. Begitu juga dengan karya Almarhum Sujudi melalui bangunan MPR/DPR, Gedung ASEAN, Departemen Pertanian Pasar Minggu. Sie Fen, adalah sosok perempuan yang telah merancang ratusan rumah mewah berslisplang ganda, dengan kaca lengkung ultra besar, dengan tangga agung melingkar dibaliknya, dengan ide rumah kapsul, yang sempat menjadi referensi dan popular di tahun 1970-1980-an. Begitu juga arsitekt-arsitek muda lainnya yang menjadi buah bibir belakangan ini.

Salah satu problem yang dihadapi oleh para arsitek dengan gaya personal ini sedikitnya kesempatan untuk memiliki portofolio yang cukup sebagai representasi gaya yang ditawarkanya. Masyarakat Indonesia lebih suka datang kepada arsitek dengan preferensi terhadap gaya yang sudah lebih mapan, terutama dari kultur negeri lain.

Gaya universal

Tak bisa disangkal, gaya arsitektur untuk seluruh umat manusia banyak didominasi oleh arsitek modernis sejak akhir abad 19 sampai sekarang. Salah satu factor pendorongnya adalah revolusi Industri, terutama industri konstruksi serta pemanfaatan energi listrik (teknologi) yang demikian besar. Ketika terjadi perubahan iklim, maka selalu direspon dengan menggunakan teknologi secara ekstensif.

Diantara beragam gaya, yang cukup popular adalah gaya intertaional style yang dinyatakan dengan tampilan bangunan berwujud geometris murni, terutama kotak kaca-aluminium dengan konstruksi baja atau bejon. Gaya ini lebih dikenal dengan sebut minimalis. Arsitektur model ini muncul disebabkan oleh orientasi cost-benifet untuk memacu percepatan penambahan jumlah meter persegi bangunan yang menjadi symbol “kemajuan” bagi zaman tersebut. Gaya ini juga sekaligus sebagai reaksi terhadap gaya agung dan tinggi yang lekat dengan citra borjuasi. Arsitektur direduksi menjadi susunan elemen hasil industri yang standardan missal. Lalu, muncullah dictum seperti ornament is crime (Adolf Loos), less is more (Mies Van de Rohe).

Gaya ini pada era 1980-an mendapat reaksi dari arsitektur postmodern yang berupaya untuk mengapresiasi ulang sejarah, menolak singularitas universal, bahkan menawarkan ide pluralitas arsitektur yang eklektis. Juga, berkembang arsitektur dekonstruksi yang mendasarkan pada wacana intelektual diluar arsitektur yang cenderung tidak mudah dimengerti dan diapresiasi masyarakat umum.

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 30 Mei 2010

Mengenal Style Arsitektur

Diposting oleh Nunuk Isma Safitri di 18.11

Suatu style arsitektur merepresentasikan dua hal sekaligus. Pertama, arsitektur dalam pengertian formalistic (wujud), bentukan masa, teknik membangun, fungsi-fungsi serta kesan secara keseluruhan terhadap karya tersebut. Kedua, pengertian pra-anggapan, interpretasi dan wacana yang menjadi latar belakang hadirnya arsitektur tersebut, sehingga bobot pemikiran, curahan emosi dan proses desain muncul pada aspek ini. Aspek keduanya ini lebih sulit dikenali karena sangat abstrak.

Secara sederhana, gaya arsitektur dapat dibagi menjadi tiga bagian; gaya arsitektur kultural, gaya arsitektur personal dan gaya arsitektur universal. Pembagian ini tidak bisa dipandang secara rigid. Sebab, dalam gaya arsitektur cultural akan ditemui pendekatan personal arsitek di didalamnya. Di zaman sekarang, tak mudah bahkan tak mungkin untuk menerapkan kemurnian suatu gaya arsitektur tertentu.

Gaya arsitektur kultural

Gaya ini kerap disebut gaya arsitektur tradisional yang belakangan menjadi gaya arsitektur vernacular. Gaya ini sangat lekat dengan tradisi yang masih hidup, tatanan, wawasan, dan tata laku yang berlaku sehari-hari secara umum. Bali, terutama daerah pedesaaan dengan basis pertanian, merepresentasikan jenis ini. Sementara itu, di kota-kota besar di Bali yang berbasis pariwisata, banyak ditemui arsitektur gaya vernacular, seperti pada bangunan dengan tipologi baru yang tidak banyak dikenal secara umum pada tataran tradisional, yaitu pada rancangan hotel, toko dan sebagainya.

Arsitektur vernacular merupakan bentuk transformasi dari situasi kultur homogen ke kultur yang heterogen dengan tetap berusaha untuk menampilkan citra dan baying-bayang realitas arsitektur tradisional. Arsitektur vernacular memiliki apresiasi yang besar terhadap high tradition. Citra yang disajikan lebih banyak bersandar pada referensi arsitektur “rakyat” daripada terhadap bangunan keagamaan, bangunan milik bangsawan-penguasa dan sejenisnya.

Gaya arsitektur personal

Di Indonesia, tidak sedikit arsitek atauk kelompok arsitek yang memiliki design baik yang orisinal ataupun sebagai bentuk pengembangan pemikiran dari pribadi atau kultur lain diluar Indonesia. Sayangnya, rekaman kita terhadap para arsitek kita kurang baik. Padahal, banyak sekali arsitek Indonesia yang sangat baik dan orisinal. Diantaranya adalah almarhum Friederich Silaban melalui karya yang memperhatikan pada kondisi klimatologis negeri tropis, sangat teknis dan kokoh. Beberapa gedung seperti Pusat Bank Indonesia Jakarta, kompleks Mesjid Istiqlal, Gedung di Taman Makam Pahlawan Kalibata adalah salatu satu peninggalan karyanya. Begitu juga dengan karya Almarhum Sujudi melalui bangunan MPR/DPR, Gedung ASEAN, Departemen Pertanian Pasar Minggu. Sie Fen, adalah sosok perempuan yang telah merancang ratusan rumah mewah berslisplang ganda, dengan kaca lengkung ultra besar, dengan tangga agung melingkar dibaliknya, dengan ide rumah kapsul, yang sempat menjadi referensi dan popular di tahun 1970-1980-an. Begitu juga arsitekt-arsitek muda lainnya yang menjadi buah bibir belakangan ini.

Salah satu problem yang dihadapi oleh para arsitek dengan gaya personal ini sedikitnya kesempatan untuk memiliki portofolio yang cukup sebagai representasi gaya yang ditawarkanya. Masyarakat Indonesia lebih suka datang kepada arsitek dengan preferensi terhadap gaya yang sudah lebih mapan, terutama dari kultur negeri lain.

Gaya universal

Tak bisa disangkal, gaya arsitektur untuk seluruh umat manusia banyak didominasi oleh arsitek modernis sejak akhir abad 19 sampai sekarang. Salah satu factor pendorongnya adalah revolusi Industri, terutama industri konstruksi serta pemanfaatan energi listrik (teknologi) yang demikian besar. Ketika terjadi perubahan iklim, maka selalu direspon dengan menggunakan teknologi secara ekstensif.

Diantara beragam gaya, yang cukup popular adalah gaya intertaional style yang dinyatakan dengan tampilan bangunan berwujud geometris murni, terutama kotak kaca-aluminium dengan konstruksi baja atau bejon. Gaya ini lebih dikenal dengan sebut minimalis. Arsitektur model ini muncul disebabkan oleh orientasi cost-benifet untuk memacu percepatan penambahan jumlah meter persegi bangunan yang menjadi symbol “kemajuan” bagi zaman tersebut. Gaya ini juga sekaligus sebagai reaksi terhadap gaya agung dan tinggi yang lekat dengan citra borjuasi. Arsitektur direduksi menjadi susunan elemen hasil industri yang standardan missal. Lalu, muncullah dictum seperti ornament is crime (Adolf Loos), less is more (Mies Van de Rohe).

Gaya ini pada era 1980-an mendapat reaksi dari arsitektur postmodern yang berupaya untuk mengapresiasi ulang sejarah, menolak singularitas universal, bahkan menawarkan ide pluralitas arsitektur yang eklektis. Juga, berkembang arsitektur dekonstruksi yang mendasarkan pada wacana intelektual diluar arsitektur yang cenderung tidak mudah dimengerti dan diapresiasi masyarakat umum.

0 komentar on "Mengenal Style Arsitektur"

Posting Komentar

Copyright 2010 about ARCHITECTURE
Lunax Free Premium Blogger™ template by Introblogger